Saturday 12 May 2018

Your failures do not define you.

Assalamualaikum.wr.wb.





Sudah Spring di Bristol. Tanah menjadi berwarna. Tulip, Sakura dan teman-temannya, meski terlambat karena adanya badai salju beberapa bulan yang lalu, mendandani sudut-sudut kota. Keindahan yang harus disyukuri karena usianya cuma sebentar saja. Dari kaca jendela sebuah study center di kampus, kupandangi langit Inggris yang lumayan cerah. Di sisi lain, kursi-kursi perpustakaan telah terisi penuh. Kampus sedang hiruk pikuk. Ini sudah masuk saat-saat exam. Kalau tidak datang pagi-pagi sekali, aku akan sangat kesulitan mendapatkan tempat. Pada saat-saat seperti ini, pemandangan mahasiswa yang menginap di kampus lengkap dengan segala peralatan tempurnya (bekal makan dan minum, alat mandi, dll) adalah wajar adanya. Aku juga salah satu dari mahasiswa itu.




Sudah setengah lima sore. Kurasakan pegal pada bahu dan leherku. Maka, sejenak aku berhenti dan berpaling menikmati pemandangan di luar jendela, sambil beberapa kali menghela nafas yang kian terasa berat. kalau bisa, aku ingin rehat sejenak. Sebentar saja, tidak lama. Lalu, aku teringat pada tema menulis di grup Be Molulo, yang pada kesempatan kali ini, akulah yang bertanggungjawab untuk menentukan topiknya. Topiknya adalah tentang kegagalan dan dan bagaimana bangkit dari situasi itu.

Aku memutuskan memilih tema ini bukan tanpa alasan. Alhamdulillah, bulan lalu, aku diuji dengan kegagalan yang cukup membuatku down dan frustrasi. Bahkan sampai saat ini, aku masih belum pulih dari rasa galau yang terus membayangi. Perasaan cemas, takut, panik, malu, dan merasa tak berharga campur aduk jadi satu. Sungguh itu bukan hal yang menyenangkan. Sama sekali bukan. Masa-masa ini adalah betul-betul titik terbawah dalam hidupku. Tak tau harus berbuat apa. Perasaan sepi dan sendiri menyergap dari berbagai arah. Lalu, pada suatu hari yang masih terasa berat, aku memutuskan untuk mencari bantuan. Karena rasa malu yang tak tertahankan jika menceritakan masalah ini kepada orang lain, maka aku meraih laptop dan mulai googling dengan Bahasa Indonesia mengenai kisah tentang kegagalan yang hampir sama dengan yang kualami dan bagaimana mereka menghadapinya. Namun, sayang sekali, pencarianku berbuah nihil. Akhirnya, aku pun googling dengan menggunakan Bahasa Inggris dan kujumpai banyak kisah yang serupa dengan kisahku. Cara mereka bangkit dari kegagalan sedikit banyak memberi harapan pada hatiku, yang sedikit lagi terjebak pada jurang putus asa.

Dalam pencarianku ini aku menjadi sadar, dalam budaya kita, menceritakan kegagalan masih dianggap hal yang tabu dan memalukan. Orang yang sedang mengalami kegagalan seringkali dilabeli dengan stugma negatif. Dianggap kurang mampu, kurang pintar, kurang cantik, kurang berharga, dan segala 'kurang-kurang' lainnya. Akibatnya, banyak orang yang malu untuk berbagi tentang kegagalan, yang menghalanginya untuk mendapatkan bantuan yang layak, atau mencegahnya untuk membagikan inspirasi kepada beberapa orang yang senasib dengannya bahwa mereka tidak sendiri. Maka, melalui tulisan ini, aku ingin merubah paradigma itu. Aku ingin berbagi kisahku, agar menjadi penguat bagi kalian, teman-temanku, yang mungkin juga sedang mengalami hal yang sama. Lebih dari pada itu, aku ingin tulisan ini bisa menjadi semacam "self healing" untuk diriku agar lebih cepat memaafkan diri sendiri dan berdamai dengan keadaan lalu bangkit melanjutkan perjuangan. Baiklah, siapkan cemilan dan kopimu kawan, ceritaku kali ini lumayan panjang...

Januari 2018

Aku saat itu sedang berada di Indonesia, sedang menikmati suatu sore yang menyenagkan bersama beberapa sahabat di sebuah kafe, ketika sebuahnotifikasi email masuk dari kampus masuk di HPku. DEG! Itu adalah email dari dosenku, yang menyatakan bahwa nilai untuk unit (sebut saja namanya unit A) yang kuambil di summer term lalu telah keluar dan aku mendapatkan nilai D. Artinya aku gagal. Email itu tidak hanya sekedar mengabarkan nilai, tetapi juga disertai dengan peringatan keras bahwa aku sudah tidak boleh gagal di unit berikutnya. Jika tidak, maka aku tidak diperkenankan melanjutkan ke proses selanjutnya (penulisan disertasi) berdasarkan aturan yang berlaku di kampus.

Dhuarr,,, kepalaku seakan meledak, dan selanjutnya adalah sunyi. Tidak kudengarkan lagi hiruk-pikuk, gelak tawa, dan bincang hangat teman-temanku. Aku seperti tersedot ke dalam tanah. Yang ada hanyalah gelap dan asing. kakiku seolah tak memijak tanah. Kau boleh anggap ini lebay, tapi itulah yang aku rasakan. Entah berapa lama yang aku butuhkan untuk bisa mengumpulkan nyawa dan keberanian untuk pamit ijin pulang duluan kepada teman-teman. Waktu itu aku beralasan ada panggilan darurat dari rumah. Teman-teman sempat heran, tapi pada akhirnya mengijinkan aku untuk pulang lebih dulu.

Di rumah, aku masuk kamar dan kehampaan itu menyerangku sekali lagi. Aku tak bisa berfikir. Selang beberapa detik, berbagai ketakutan datang menghantam satu persatu. Pada sat itu, aku juga sedang mengerjakan unit yang lain (Unit B), yang aku anggap paling susah diantara unit yang pernah aku ambil sebelumnya. Bagaimana kalau yang ini juga gagal? Aku berarti harus pulang. Apa yang akan kukatakan pada pihak sponsor? Bagaimana aku akan menghadapi rasa malu? Bagaimana aku akan menghadapi cibiran orang-orang? Bagaimana aku akan menjelaskan kepada orang tua? Bagaimana aku bisa memandang diri sendiri? Lalu, muncul perasaan rendah diri dan tak berharga. Aku merasa menjadi manusia paling bodoh di dunia.

Beberapa hari berselang, aku masih diliputi kegalauan yang seakan tak berujung. Akhirnya aku memutuskan menceritakan ini kepada keluarga. Aku kira mereka akan panik dan sedih. Di luar dugaan mereka sangat supportive. Mereka memberi suntikan semangat dan mendorongku untuk semakin mendekatkan diri dengan tuhan. "Istigfar, dan percaya sama Allah, Nak. Ilmu itu Dia yang punya, mintalah padaNya, insyaAllah Dia kasih. Dia sendiri yang menjanjikan bahwa barang siapa yang meminta kepadaNya maka pasti akan dia kabulkan. Dan janjiNya benar." kata mama ketika aku meratapi kebodohanku. Kata-kata itu beliau ucapkan dengan lirih tapi efeknya luar biasa menenangkan. Aku tersadar dan kembali memiliki harapan. Walaupun kadang perasaan rendah diri itu tidak bisa pergi begitu saja, aku tetap berusaha mengerjakan unit B karena deadlinenya semakin dekat. Kegagalan unit A aku coba singkirkan sebisanya agar bisa fokus pada unit B. Namun, efek stress itu benar-benar sangat mengganggu. Aku sulit berkonsentrasi. Bacaan tak satupun bisa masuk. Akhirnya, aku mengerjakan unit B seadanya saja. Batas waktu untuk memasukkan draft sudah lewat. Aku akhirnya takut untuk meminta feedback dari dosen. Tapi, menjelang batas pengumpulan final, aku akhirnya memberanikan diri meminta kebijaksanaan dosen untuk memberikan perpanjangan waktu dan meminta kesediaan beliau untuk melihat draft essayku. Karena mempertimbangkan masalah yang aku hadapi, beliau setuju untuk melihat draftku.

Beberapa hari kemudian, beliau mengirimkan draft ku kembali dan beliau menilai bahwa dengan kualitas tulisan seperti ini, besar kemungkinan aku akan gagal lagi. DHUAAAARR!!! Sekali lagi duniaku menjadi gelap. Aku betul-betul dilanda frustrasi dan rasa rendah diri yang teramat sangat. Aku tidak tahu lagi harus bagaimana. Memang, ini belum final dan masih ada kesempatan untuk memperbaiki. Tapi, tenagaku sudah terkuras habis. Perasaan menjadi orang paling bodoh kembali menyerangku tanpa ampun. Meski dukunagn keluarga begitu besar, aku mulai mempercayai bahwa aku memang bodoh dan tak pantas berkuliah di kampusku yang sekarang. Keadaan diperparah dengan dengan pujian yang sering diberikan oleh teman-teman kepadaku karena bisa berkuliah di luar negeri. Oh sungguh mereka hanya tak tahu keadaan yang sebenarnya sebenarnya. Dan itu membuatku bertambah depresi.

Beberapa kali terbersit pilihan untuk menyerah dan melupakan saja semuanya. Tapi, sampai dititik ini, Allah selalu menolongku. Dia mengirimkan orang-orangnya untuk membantu dan menyemangatiku. Perlahan, aku bangkit dan mencoba memperbaiki unit B ini. Aku sadar bahwa dengan keadaan mental seperti yang kualami waktu itu, aku tak bisa menyelesaikannya sendiri. Aku lalu meminta bantuan senior yang kuanggap mumpuni. Alhamdulillah, ditengah kesibukannya beliau bersedia untuk membantuku. Beliau juga terus menerus menyemangati dan meyakinkan aku untuk terus berusaha sampai akhir. Akhirnya, dengan bantuan beliau, dipenghujung masal liburanku di Indonesia, setelah kurang lebih dua bulan berjibaku mengerjakan tulisan ini, tugas ini aku kumpulkan juga. Aku merasa positif dengan kualitas tulisanku yang baru ini. Dengan memupuk harapan, aku packing untuk kembali melanjutkan perjuangan di tanah rantau.

Maret 2018 sampai saat ini.

Aku menginjakkan kaki lagi di Inggris. Tidak seperti dulu, kali ini tidak ada perasaan excited yang memenuhi hatiku. Nilai untuk unit B bisa dipastikan akan lama keluar, mengingat saat ini para dosen se UK sedang strike, sebagai bentuk protes atas pemotongan dana pensiun mereka. Setibanya di rumah, aku langsung tancap gas mengerjakan perbaikan unit A. Aku tidak memberi ruang bagi jetlag untuk menunda-nunda mengerjakan essay ku. Aku menghabiskan waktu dari pagi sampai larut di perpustakaan. Terkadang, karena merasa frustrasi karena merasa tugas ini begitu susah, aku menangis sejadi-jadinya di sudut kampus yang sunyi. Perasaan 'merasa bodoh' itu kembali menguasai. Aku lalu mempertanyakan kemampuanku sendiri. Beberapa hari aku hanya bisa menatap laptop dengan hasil yang nihil. Aku tak bisa menulis, kehabisan ide dan terpuruk. Aku mulai merasa tidak sehat. Aku mudah sekali merasa lelah, kesulitan tidur (kalaupun bisa tertidur, aku selalui dihantui mimpi buruk), merasa cemas yang tak wajar, dan gampang tersulut emosi. lalu, aku sadar kalau aku butuh bantuan.

Aku lalu mencari tahu tentang bantuan penanganan wellbeing dan mental illness yang disediakan oleh kampus. Jujur, awalnya aku merasa sangat malu dan berat hati. Tapi aku sadar, aku tak bisa begini terus. Curhat ke teman memang membantu, tetapi mereka juga punya beban yang sama beratnya. Aku merasa tak enak sekaligus malu kalau harus cerita kepada mereka. Singkat cerita, akupun ke student counselling. Alhamdulillah, mereka sangat empatik dan profesional. kepada mereka, aku menceritakan semua masalahku, dan bagaimana itu menghalangiku berkonsentrasi menyelesaikan tugasku. Aku lalu menjalani sesi konseling dan pemeriksaan kesehatan oleh dokter. Aku didiagnosis mengalami depresi. Berbicara dengan konseling sedikit banyak membantuku merasa tenang. Sembari berusaha lebih mendekatkan diri dengan Allah, aku menguatkan diri mengerjakan kembali tugasku. Aku mendengarkan ceramah dan mengerjakan amalan-amalan yang kiranya bisa membujuk Allah untuk memberiku jalan keluar.

Beberapa waktu kemudian, aku mengirim draft perbaikan kepada dosenku. Semua usaha telah aku lakukan. Meminta bantuan dan masukan kepada teman yang kuanggap lebih cerdas, membaca banyaaak literatur, perbaikan di sana-sini, merevisi kembali. Semua sudah kulakukan. Sekarang saatnya tawakkal.Alhamdulillah, selang beberapa hari kemudian, sang dosen mengirim feedback kemnali dan menyatakan bahwa untuk tulisanku kali ini, aku sudah berada di right track, dan hanya ada sedikit perbaikan.

Aku tak berhenti mengucap syukur kepada Allah. selama masa-masa berat ini, aku rasakan kasih sayangNya begitu besar kepadaku. Dibalik ujian dan cobaan ini, aku banyak sekali belajar dan bermuhasabah. Banyak hikmah yang bisa kupetik dari kejadian ini. Diantaranya, aku menjadi benar-benar menyadari, bahwa manusia itu sangat kecil dan tidak ada apa-apanya jika bukan karena bantuan dan kasih sayang Allah. Aku merasa, kegagalan yang aku hadapi ini adalah bentuk kasih sayang Allah yang tidak mau mebiarkan aku larut dalam rasa sombong dan berbangga diri. Aku mengakui, beberapa kali perasaan riya menyelimuti hatiku karena telah berhasil kuliah di luar negeri. Disadari atau tidak, postingan-postinganku di instagram adalah wujud kesombongan diri. Ada perasaan ingin dipuji dan keliatan bagus dimata orang lain. Dan setelah mengetahui dosa riya itu, aku menjadi takut. Untung Allah menyelamatkanku. Hal lain yang kusadari adalah, ilmu akan susah masuk jika masih terdapat banyak dosa pada diriku. Dengan adanya kejadian ini, aku menjadi lebih banyak berkaca dan merenungi diri. Sungguh, aku benar-benar bukan siapa-siapa tanpa ridho dan pertolongan Allah. Maka, dengan mengucapkan bismillah, aku mendeaktivasi akun instagramku, yang kuanggap sarana 'pamer' bagi diriku.

Ketika mengatakan ini, aku tidak bermaksud mengatakan bahwa yang menggunakan instagram adalah orang-orang yang berniat pamer.  Bukan. Bukan itu maksudku. Sedikitpun tak terbersit pemikiran seperti itu. Aku sunguh tidak bisa mengetahui dan tidak boleh menjudge orang-orang hanya karena aku sendiri merasa begitu. Tidak. Tidak sama sekali. Hanya saja, aku merasa, aku perlu membersihkan diriku dari hal-hal yang bisa menghalangi ilmu masuk. Sejujurnya, secara akademis, aku masih sangat lemah dan masih harus banyak belajar. Oleh karena ittu, aku mencoba cara lain. Aku percaya, ilmu itu asalnya dari Allah, bukan dari otak. Oleh karena itu, aku sedang berusaha memaksimalkan diri dengan membujuk Allah agar selalu memberi pertolongannya dan ilmunya kepadaku, aamiin.

Aku juga saat ini sedang berusaha mendefiniskan ulang makna keberhasilan dan kebahagiaan. Setelah berikhtiar sebisanya, aku serahkan semua kepada Allah. Aku meyakini bahwa Allah mendengar dan mengabulkan semua doa. Tetapi aku juga menyadari bahwa tidak selamanya Allah menjawab doa kita sesuai dengan keinginan kita. Bisa jadi Allah akan mengabulkan bisa jadi tidak, tetapi aku yakin Dia akan mengganti dengan yang lebih baik. Bisa jadi kita menyukai sesuatu padahal itu tidak baik untuk kita, dan bisa jadi kita membenci sesuatu padahal itu baik untuk kita. Allah mengetahui semua yang gaib sementara kita tidak. Pasrah dan percaya padaNya bahwa ketetapanNya lah yang terbaik.
Saat ini, nasib tentang bagaimana kelanjutan studiku masih belum jelas. Apakah bisa lanjut atau tidak. Aku hanya percaya, apapun itu, itulah yang terbaik.

Satu hal yang ingin aku tekankan dengan bercerita seperti ini bahwa teman-teman sekalian, tidak apa berteman dengan kegagalan. Dari sesi konsultasi dengan psikiater aku menyadari bahwa kegagalanku ini tidak lantas menjadikan aku manusia gagal. Kegagalam pada satu mata kuliah tidak lantas menjadikan kita sebagai manusia bodoh. Kegagalan pada satu matakuliah tidak bisa menggambarkan hasil belajar yang kita telah peroleh selama hidup ini. Maka, usahakanlah berhenti menyalahkan dirimu dan mulailah berdamai dengan keadaan. Sadarilah, bahwa kegagalan itu bagian dari hidup dan wajar jikau kau merasa sedih. Terimalah kenyataan bahwa dirimu tak selalu kuat dan meminta pertolongan bukanlah hal yang memalukan. Curhat ke teman yang bisa kau percaya dan psikiater akan sangat membantu proses pemulihan dan kebangkitanmu. Jangan lupa berserah pada yang maha kuasa. Percayalah, Allah selalu bersama kita. Ujian datang bukan untuk menghukum kita. Dia datang menawarkan dua hal: pembersihan dosa atau kesempatan meningkatkan keimanan kita di mata Allah. Yakinlah, setelah kesulitan ada kemudahan. Itu janjiNya, dan janjiNya benar. Bangkit dan senyumlah. Tetap menjadi orang baik, tetap berusaha memperbaiki diri. Selalu ada lembar baru dalam hidup ini. Your failures do not define you.


Ps: Kalau berkenan, aku minta doanya ya, teman-teman 😇

10 comments:

  1. Saya yakin pasti dirimu bisa sey. Semangat yaa 😘

    ReplyDelete
  2. Makasih tulisannya say... Ini menginspirasi...
    Ada hikmah dari sini yang membuatku belajar...

    Semoga Alloh memudahkan segalanya sampai selesai studi dengan hasil yang memuaskan. Aamiiiiin

    ReplyDelete
  3. Wiii berasa baca novel saya, bagussss, sangat menginspirasi kak :)

    ReplyDelete
  4. Aaahh.. mataku berkaca-kaca baca ini. I'll send you my big hug, best wishesh and my best pray. *Sok english! Wkwkwk..

    Allah punya cara memanggil hambanya agar lebih dekat, bersyukur dirimu tidak lama menyadari, diberikan support yang baik oleh keluarga, teman dan kampus! Lucky you.. Senang sekali saya baca kampus support mental mahasiswanya.

    Terakhir, teruskan jalan-jalannya walaupun tidak ada foto (atau sharenya nanti setelah prioritas selesai), itu salah satu kebahagiaan yang juga layak dinikmati. Sukses Sist, ada alasan dirimu berada di sana dan saya yakin alasannya adalah kebaikan.

    *Ketjup basah :*

    ReplyDelete
  5. Riiiiiin... Semangaaaaat.
    I know youuu. Pasti bisaaa. InsyaAllah.
    Peluuuuukkkkkkk 🤗🤗🤗

    ReplyDelete
  6. Ahhhhh... peluk cium kk rin ���� I felt the same when IELTS course at ITB last year and all you said is true. Menangis sepuasnya, berdoa sepanjangnya lalu kembali dan perbaiki semuanya.
    Hey,,, kk ririn you make it.
    Jiwamu makin bijaksana skrg ��

    Kutipan hasil nonton drakor *The Queen seondeok
    *para tentara perang yang lemah itu, jika sdh terhujam pedang dan bangkit melawan lalu mampu melumpuhkan lawannya, dia akan kembali menjadi tentara yang berbeda dan lebih kuat.

    Hehehehhr nda nyambung sede'.

    ReplyDelete
  7. Rinnnnn....semangat syg, kamu pasti bisa
    Pasti bisa..bisa..dan bisa.

    ReplyDelete
  8. Rinnnnn, semangat syg, kamu pasti bisa
    Pasti bisa...bisa..dan bisa

    ReplyDelete

Light at the end of the tunnel

Assalamualaikum.wr.wb. 20 Juni 2018, sebuah email yang membawa kabar gembira akhirnya menyapa hari-hariku yang penuh dengan drama kehidupa...